Kamis, 05 Mei 2011

ASKEP PANGKREATITIS




DISUSUN OLEH :

KHOIRUL HADI P
722005S09098


YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM KALTIM
AKADEMI KEPERAWATAN YARRSISAMARINDA
2011/2012


KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkatNya maka penulis dapat menyelesaikan tugas menyusun makalah "Asuhan Keperawatan dengan Pangkreatitis".
Dalam penulisan makalah ini, berisikan penjelasan apa dan bagaimana Penerapan Asuhan Keperawatan pada Klien dengan pangkreatitis.
Berbagai bantuan dan bimbingan serta pengarahan dari berbagai pihak yang telah terpartisipasi demi selesainya makalah ini. Untuk itu kami bermaksud mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bpk. Aminudin,HS.SE.,M.kes Selaku Direktur Akper Yarsi Samarinda
2. Bapak. Edi Mulyono.S.Kep.,Ns sebagai pembimbing MA Keperawatan Medikal Bedah III.
3. Dan Teman-teman yang telah membantu member masukan dan support dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari, masih banyak kekurangan serta belum sempurnanya dalam penulisan makalah ini karena keterbatasan kemampuan, pengalaman serta referensi yang ada. Untuk itu kami harapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi sempurnanya makalah ini.


Samarinda 03 Mei 2011


Penyusun






DAFTAR ISI


COVER
KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTARISI ............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pengertian................................................................................... 1
B. Klasifikasi ........................................................................................1
C. Etiologi.................................................................................. 2
D. Tanda dan Gejala............................................................................. 3
E. Patofisiologi............................................................................... 4
F. Komplikasi…........................................................................... 5
G. Penatalaksanaan……………………………………………………….5

BAB II ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian.......................................................................................... 7
1. Anamnesa………………………………………………………….7
2. Pemeriksaan Fisik………………………………………………..9
3. Pemeriksaan Penunjang…………………………………………..11
B. Analisa Data......................................................................................... 12
C. Diagnosa Keperawatan..........................................................................13
D. Perencanaan Keperawatan................................................................ 13
E. Evaluasi………….................................................................... 19
BAB III KESIMPULAN...................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian
Pankreatitis (inflamasi pankreas) merupakan penyakit yang serius pada pankreas dengan intensitas yang dapat berkisar mulai dari kelainan yang relatif ringan dan sembuh sendiri hingga penyakit yang berjalan dengan cepat dan fatal yang tidak bereaksi terhadap berbagai pengobatan. (Brunner & Suddart, 2001; 1338)
Pankreatitis adalah kondisi inflamasi yang menimbulkan nyeri dimana enzim pankreas diaktifasi secara prematur mengakibatkan autodigestif dari pankreas. (Doengoes, 2000;558)
Pankreatitis akut adalah inflamasi pankreas yang biasanya terjadi akibat alkoholisme dan penyakit saluran empedu seperti kolelitiasis dan kolesistisis. (Sandra M. Nettina, 2001)

B. Klasifikasi
1. Pengertian Pankreatitis Akut
• Pankreatitis akut adalah akibat proses tercernanya organ ini oleh
enzim-enzim sendiri, khususnya oleh tipsin.
• Pankreatitis akut adalah inflamasi akut pada pancreas yang disertai
oleh gangguan pada berbagai organ jauh lainnya seperti paru-paru, ginjal, dan jantung.
• Pankreatitis akut adalah suatu proses peradangan akut yang
mengenai pancreas dan ditandai oleh berbagai derajat odema, pendarahan, dan nekrosis pada sel-sel asinus da pembuluh darah.



2. Pengertian Pankreatitis Kronis
• Pankreatitis kronis adalah kelainan inflamasi yang ditandai oleh kehancuran anatomis dan fungsinya yang progresif pada pancreas.
• Pankreatitis kronis adalah terjadi kerusakan parenkim dari system duktus pancreas yang tak berpulih dan disertai fibrosis.
• Pankreatitis kronis adalah serangan radang akut yang terjadi pada pancreas yang telah mengalami cedera atau sebagai kerusakan kronik disertai nyeri persisten atau melabsorsi.

C. Etiologi/Penyebab
1. Alkohol
Alcohol menembah kosentrasi protein dalam cairan pancreas dan mengakibatkan endapan yang merupakan inti untuk terjadinya kalsifikasi yang selanjutnya menyebabkan tekanan intraduktal lebih tinggi.
2. Batu Empedu
Pada sepertiga sampai dua pertiga pasien, pankreatitis disertai dengan adanya batu empedu yang diduga menyebabkan trauma sewaktu pasae batu, atau menyebabkan sumbatan.
3. Obat-obatan
Sejumlah obat-obatan telah terlibat dalam berkembangnya pankreatitis akut tetapi tidak satu pun yang terbukti menyebabkan penyakit ini.
4. Infeksi
Infeksi virus telah dapat dihubungkan dengan pankreatitis akut khususnya gondongan dan infeksi sackie, peningkatan sepintas amylase serum bukanlah merupakan hal yang luar biasa.
5. Trauma
Trauma kecelakaan merupakan penyebab mekanik yang penting bagi pankreatitis (terutama truma tumpul abdomen). Trauma besar juga merupakan sebab yang bermakna bagi peradangan akut dan pankreatitis yang timbul setelah tindakan pada lambung dan saluran empedu dalam persentase kecil kasus. Biasanya cedera tidak terlihat pada waktu pembedahan dan mungkin akibat truma tumpul atau tajam.

D. Tanda dan Gejala
1. Nyeri abdomen terjadi akibat iritasi dan edema pada pankreas yang mengalami inflamasi sehingga timbul rangsangan pada ujung-ujung saraf. Peningkatan tekanan pada kapsul pankreas dan obstruksi duktus pankreatikus juga turut menimbulkan rasa sakit.

2. Pasien tampak berada dalam keadaan sakit berat defens muskuler teraba pada abdomen. Perut yang kaku atau mirip papan dapat terjadi dan merupakan tanda yang fatal. Namun demikian abdomen dapat tetap lunak jika tidak terjadi peritonitis. Ekimosis (memar) didaerah pinggang dan disekitar umbilikus merupakan tanda yang menunjukkan adanya pankreatitis haemoragik yang berat.
3. Mual dan muntah umumnya dijumpai pada pankreatitis akut. Muntahan biasanya berasal dari isi lambung tetapi juga dapat mengandung getah empedu. Gejala panas, ikterus, konfusidan agitasi dapat terjadi.
4. Hipotensi yang terjadi bersifat khas dan mencerminkan keadaan hipovolemia serta syok yang disebabkan oleh kehilangan sejumlah besar cairan yang kaya protein, karena cairan ini mengalir kedalam jaringan dan rongga peritoneum. Pasien dapat mengalami takikardia, sianosis dan kulit yang dingin serta basah disamping gejala hipotensi. Gagal ginjal akut sering dijumpai pada keadaan ini.
5. Gangguan pernafasan serta hipoksia lazim terjadi, dan pasien dapat memperlihatkan gejala infiltrasi paru yang difus, dispnoe, tachipnoe dan hasil pemeriksaan gas darah abnormal. Depresi miokard, hipokalsemia, hiperglikemia dan koagulopati intravaskuler diseminata dapat pula terjadi pada pankreatitis akut (Brunner & Suddart, 2001:1339)


E. Patofisiologi
Pankreas menyekresikan sejumlah enzim; amilase dan lipase disekresikan dalam bentuk aktif sementara protease, elastase dan fosfolipase disekresikan sebagai proenzim yang dalam keadaan normal harus diaktifkan oleh tripsin di dalam duodenum. Tripsin sendiri normalnya diaktifkan oleh enteropeptidase duodenal. Patogenesis pankreatitis akut berpusat pada aktivitas tripsin yang tidak tepat di dalam pankreas; tripsin yang sudah diaktifkan tersebut akan mengubah berbagai proenzim menjadi aktif prekalikrein menjadi kalikrein yang akan mengaktifkan sistem kinin serta pembekuan. Hasil nettonya berupa inflamasi pankreas dan trombosis. Ciri-ciri pankreatitis meliputi proteolisis jaringan, lipolisis dan perdarahan, terjadi karna efek destruktif enzim-enzim pankreas yang dilepas dari sel-sel asiner.
Mekanisme yang dikemukakan untuk aktivitas enzim pankreas meliputi hal-hal berikut ini:
a. Obstruksi duktus penkreatikus. Batu empedu dapat terjepit di
dalam ampula Vateri; di sebelah proksimal obstruksi, cairan kaya enzim menumpuk dan menimbulkan jejas parenkim pankreas. Leukosit dalam jaringan parenkim akan melepaskan sitokin proinflamatorik yang menggalakkan inflamasi local dan edema.
b. Jejas primer sel asiner. Keadaan ini dapat disebabkan oleh kerusakan karna virus (parotitis), obat-obatan, trauma atau iskemia.
c. Defek transportasi-intraseluler proenzim. Enzim-enzim eksokrin pankreas mengalami kesalahan arah dalam perjalanannya, yaitu menuju lisosom dan bukan menuju sekresi; hidrolisis proenzim di dalam lisosom akan menyebabkan aktivitas dan pelepasan enzim.
d. Alkohol dapat meningkatkan jejas sel asiner lewat perjalanan proenzim intraseluler yang salah arah dan pengendapan sumbatan protein yang mengental serta bertambah banyak di dalam duktud pankreatikus sehingga terjadi inflamasi dan obstruksi lokal.
e. Pankreatitis herediter ditandai oleh serangan rekuren pankreatitis yang hebat dan sudah di mulai sejak usia kanak-kanak. Kelainan ini disebabkan oleh mutasi germ line (garis-turunan sel tunas) pada:
1. Gen tripsinogen kationik (PRSS1), menimbulkan kehilangan suatu tempat pada tripsin yang esensial untuk inaktivasi enzim itu sendiri (mekanisme pengaman yang penting untuk mengatur aktivitas enzim tripsin).
2. Gen inhibitor protease serin, Kazal tipe I (SPINK1), yang menimbulkan protein yang cacat sehingga tidak lagi mampu memperlihatkan aktivitas tripsin.

F. Komplikasi
 Timbulnya Diabetes Mellitus
 Tetani hebat
 Efusi pleura (khususnya pada hemitoraks kiri)
 Abses pankreas atau psedokista

G. PenataLaksanaan
Penatalaksanaan pasien pankreatitis bersifat simtomatik dan ditujukan untuk mencegah atau mengatasi komplikasi. Semua asupan peroral harus dihentikan untuk menghambat stimulasi dan sekresi pancreas. Pelaksanaan TPN (total parenteral nutrition) pada pankreatitis akut biasanya menjadi bagian terapi yang penting, khusus pada pasien dengan keadaan umum yang buruk, sebagai akibat dari stress metabolic yang menyertai pankreatitis akut.
1. Penangnan Nyeri ; Pemberian obat pereda nyeri yang adekuat merupakan tindakan yang esensial dalam perjalanan panyakit pancreastitis akut karena mengurangi rasa nyeri dan kegilisahan yang dapat menstimulasi sekresi pancreas.
2. Perawatan Intensif ; Koreksi terhadap , kehilangan cairan serta darah dan kadar albumin yang rendah diperlakukan untuk nenperhatikan lika untuj, serta mencegah gagal ginjal akut.
3. Perawatan Respiratorius. ; perawatan yang agresif dipelukan karena resiko untuk terjadinya elevasi diafragma, infiltrasi serta efusi dalam paru, dan etelektasis cenderung tinggi.
4. Drainase Bilier ; pemasangan drain bilier (untuk drainase eksternal) dan stent(selang indwelling) dalam duktus pankreatikus melalui endoskopi telah dilakukan dengan keberhasilan yang terbatas.
5. Intervensi Bedah ; meskipun pasien yang berada dalam keadaan sakit berat mempunyai risiko bedah yang buruk, namun pembedahan dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosa pankreatitis, untuk membentuk kembali drainase pancreas atau untuk melakukan reseksi atau pengangkatan jaringan pancreas yang netrotik.
6. Penatalaksanaan Pasca-akut ; antacid dapat diberikan ketika gejala akut pankreatitis mulai menghilang. Pemberian makanan per oral yang rendahlemak dan protein dimulai secara bertahap.
7. Pertimbangan Gerontologi ; pankreatitis akut dapat mengenai segala usia, meskipun demikian, angka mortalitas pankreatitis akut meningkat bersamaan dengan pertambahan usia.








BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN PANGKREATITIS


A. PENGKAJIAN
1. Anamnesa.
a. Biodata
pada biodata diperoleh data tentang nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan dan status perkawinan. Dimana beberapa faktor tersebut dapat menempatkan klien pada resiko pada pankreatitis akut.

b. Keluhan utama
nyeri hampir selalu merupakan keluhan yang diberikan oleh pasien dan nyeri dapat terjadi di epigastrium, abdomen bawah atau terlokalisir pada daerah torasika posterior dan lumbalis. Nyeri bisa ringan atau parah atau biasanya menetap dan tidak bersifat kram (Sabiston, 1994).

c. Riwayat penyakit sekarang
riwayat kesehatan juga mencakup pengkajian yang tetap tentang nyeri, lokasi, durasi, faktor-faktor pencetus dan hubungan nyeri dengan makanan, postur, minum alkohol, anoreksia, dan intoleransi makanan (Hudak dan Gallo, 1996).

d. Riwayat penyakit lalu
Kaji apakah pernah mendapat intervensi pembedahan seperti colecystectomy, atau prosedur diagnostik seperti EKCP. Kaji apakah pernah menderita masalah medis lain yang menyebabkan pankreatitis meliputi :
- ulkus peptikum
- gagal ginjal
- vaskular disorder
- hypoparathyroidism
- hyperlipidemia
Kaji apakah klien pernah mengidap infeksi virus dan buat catatan obat-obatan yang pernah digunakan (Donna D, 1995).

e. Riwayat kesehatan keluarga
kaji riwayat keluarga yang mengkonsumsi alkohol, mengidap pankreatitis dan penyakit biliaris (Donna D, 1995).


f. Pengkajian psikososial
penggunaan alkohol secara berlebihan adalah hal yang paling sering menyebabkan pankreatitis akut. Perlu dikaji riwayat penggunaan alkohol pada klien, kapan paling sering klien mengkonsumsi alkohol. Kaji apakah klien pernah mengalami trauma seperti kemtian anggota keluarga, kehilangan pekerjaan yang berkontribusi terhadap peningkatan penggunaan alkohol. (Donna D, 1995)

g. Pola aktivitas
klien dapat melaporkan adanya steatorea (feses berlemak), juga penurunan berat badan, mual, muntah. Pastikan karakteristik dan frekuensi buang air besar (Huddak & Gallo, 1996).
Perlu mengkaji status nutrisi klien dan cacat faktor yang dapat menurunkan kebutuhan nutrisi (Suzanna Smletzer, 1999).




2. Pemeriksaan Fisik
a.Tanda-tanda vital
Kaji adanya peningkatan temperatur, takikardi, dan penurunan tekanan darah (Donna D, 1995). Demam merupakan gejala yang umum biasanya (dari 39° C). demam berkepanjangan dapat menandakan adanya komplikasi gastrointestinal dari penyakit seperti peritonitis, kolesistitis atau absese intra abdomen

b. Sistem gastrointestinal
Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri abdomen. Juga terdapat distensi abdomen bagian atas dan terdengar bunyi timpani. Bising usus menurun atau hilang karena efek proses peradangan dan aktivitas enzim pada motilitas usus. Hal ini memperberat ketidakseimbangan cairan pada penyakit ini.
Pasien dengan penyakit pankreatitis yang parah dapat mengalami asites, ikterik dan teraba massa abdomen

c. Sistem cardiovaskular
Efek sistemik lainnya dari pelepasan kedalam sirkulasi adalah vasodilatasi perifer yang pada gilirannya dapat menyebabkan hipotensi dan syok.
Penurunan perfusi pankreas dapat menyebabkan penurunan faktor depresan miokardial (MDF). Faktor depresan miokardial diketahui dapat menurunkan kontraktilitas jantung. Seluruh organ tubuh kemudian terganggu

d. Sistem sirkulasi
Resusitasi cairan dini dan agresif diduga dapat mencegah pelepasan MDF. Aktivasi tripsin diketahui dapat mengakibatkan abnormalitas dalam koagulitas darah dan lisis bekuan. Koagulasi intravaskular diseminata dengan keterkaitan dengan gangguan perdarahan selanjutnya dapat mempengaruhi keseimbangan cairan

e. Sistem respirasi
Pelepasan enzim-enzim lain (contoh fosfolipase) diduga banyak menyebabkan komplikasi pulmonal yang berhubungan dengan pankretitis akut. Ini termasuk hipoksemia arterial, atelektasis, efusi pleural, pneumonia, gagal nafas akut dan sindroma distress pernafasan akut

f. Sistem metablisme
Komplikasi metabolik dari pankreatitis akut termasuk hipokalsemia dan hiperlipidemia yang diduga berhubungan dengan daerah nekrosis lemak disekitar daerah pankreas yang meradang. Hiperglikemia dapat timbul dan disebabkan oleh respon terhadap stress. Kerusakan sel-sel inset langerhans menyebabkan hiperglikemia refraktori. Asidosis metabolik dapat diakibatkan oleh hipoperfusi dan aktivasi hipermetabolik anaerob

g. Sistem urinari
Oliguria, azotemia atau trombosis vena renalis bisa menyebabkan gagal ginjal

h. Sistem neurologi
Kaji perubahan tingkah laku dan sensori yang dapat berhubungan dengan penggunaan alkohol atau indikasi hipoksia yang disertai syok

i. Sistem integumen
Membran mukosa kering, kulit dingin dan lembab, sianosis yang dapat mencerminkan dehidrasi ringan sampai sedang akibat muntah atau sindrom kebocoran kapiler.
Perubahan warna keunguan pada panggul (tanda turney grey) atau pada area periumbilikus (tanda cullen) terjadi pada nekrosis hemoragik yang luas

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Scan-CT : menentukan luasnya edema dan nekrosis
b. Ultrasound abdomen: dapat digunakan untuk mengidentifikasi inflamasi pankreas, abses, pseudositis, karsinoma dan obstruksi traktus bilier.
c. Endoskopi : penggambaran duktus pankreas berguna untuk diagnosa fistula, penyakit obstruksi bilier dan striktur/anomali duktus pankreas. Catatan : prosedur ini dikontra indikasikan pada fase akut.
d. . Aspirasi jarum penunjuk CT : dilakukan untuk menentukan adanya infeksi.
e. Foto abdomen : dapat menunjukkan dilatasi lubang usus besar berbatasan dengan pankreas atau faktor pencetus intra abdomen yang lain, adanya udara bebas intra peritoneal disebabkan oleh perforasi atau pembekuan abses, kalsifikasi pankreas.
f. Amilase serum : meningkat karena obstruksi aliran normal enzim pankreas (kadar normal tidak menyingkirkan penyakit).
g. Amilase urine : meningkat dalam 2-3 hari setelah serangan.
h. Lipase serum : biasanya meningkat bersama amilase, tetapi tetap tinggi lebih lama.
i. Bilirubin serum : terjadi pengikatan umum (mungkin disebabkan oleh penyakit hati alkoholik atau penekanan duktus koledokus).
j. Albumin dan protein serum dapat meningkat (meningkatkan permeabilitas kapiler dan transudasi cairan kearea ekstrasel).
k. Kalsium serum : hipokalsemi dapat terlihat dalam 2-3 hari setelah timbul penyakit (biasanya menunjukkan nekrosis lemak dan dapat disertai nekrosis pankreas).
l. Kalium : hipokalemia dapat terjadi karena kehilangan dari gaster; hiperkalemia dapat terjadi sekunder terhadap nekrosis jaringan, asidosis, insufisiensi ginjal.
m. Trigliserida : kadar dapat melebihi 1700 mg/dl dan mungkin agen penyebab pankreatitis akut.
n. LDH/AST (SGOT) : mungkin meningkat lebih dari 15x normal karena gangguan bilier dalam hati.
o. Darah lengkap : SDM 10.000-25.000 terjadi pada 80% pasien. Hb mungkin menurun karena perdarahan. Ht biasanya meningkat (hemokonsentrasi) sehubungan dengan muntah atau dari efusi cairan kedalam pankreas atau area retroperitoneal.
p. Glukosa serum : meningkat sementara umum terjadi khususnya selama serangan awal atau akut. Hiperglikemi lanjut menunjukkan adanya kerusakan sel beta dan nekrosis pankreas dan tanda aprognosis buruk. Urine analisa; amilase, mioglobin, hematuria dan proteinuria mungkin ada (kerusakan glomerolus).
q. Feses : peningkatan kandungan lemak (seatoreal) menunjukkan gagal pencernaan lemak dan protein.


B. Analisa Data
1. Kaji tingkat rasa nyeri : lokasi, durasi, factor-faktor pencetus.
2. Identitas klien
3. Riwayat penyakit sekarng
4. Riwayat kesehatan sama sekali
5. Iktewrus
6. Pemeriksaan Fisik :
a. Nyeri tekan perut bagain atas ,
b. Tanda-tanda peritonitis local atau bahkan umum.
c. Bising usus berkurang atau menghilanh
d. Palpasi dalam, lingkungan
e. Suhu tinggi ( kolangitis abses kolesistitis, abses pankreas) suhu
tinggi dan kolangitis dan abses pancreas.

C. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan Obstruksi pankresa, Duktus Biller
2. Kekurangan Volume Cairan , Risiko Tinggi Terhadap berhubungan
dengan kehilangan berlebihan; muntah, penghisapan gaster.
3. Nutrisi, perubahan : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan muntah, penurunan pemasukan oral, pembatasan diet.
4. infeksi, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan utama : status cairan tubuh, gangguan peristaltic
perubahan pH pada sekresi.


D. Perencanaan Keperawatan

1. Dx : Nyeri berhubungan dengan Obstruksi pankresa, Duktus
Biller.
Kriteria Hasil : Mengatakan nyeri hilang/ terkontrol,mengikuti
program terapeutik, menunjukan penggunaan metode yang menghilangkan nyeri.
Intervensi dan Rasional
a. Menyelidiki keluhan verbal nyeri. Liat lokasi dan intensitas khusus. Catat factor yang meningkatkan dan menghilangkan nyeri.
Rasional : nyeri sering menyebar , berat dan tidak berhubungan pada pankreatitis akut atau pendarahan.
b. Mempertahankan tiral, baring selama serangan akut. Memberikan lingkungan tenang.
Rasional : Menurunkan laju metabolic dan rangsangan/ sekresi GI, sehingga menurunkan aktivitas pancreas.
c. Memberikan pilihan tindakan nyaman ( contoh pijatan punggung ); mendorong teknik relaksasi
Rasional : Meningkatkan relaksasi dan memampukan pasien untuk memfokuskan perhatian.

d. Memberikan obat sesuai indikasi.
Analgesic narkotik, contoh meperidin (Demerol)
Rasional : meperidin biasanya efektif pada penghilang nyeri dan lebih disukai dari morfin, yang dapat menunjukan efek samping spasme bilier-pankreas.
e. Sedative, contoh Mylanta, Maalox, amphogel, riopan
Rasional :mempunyai potensi kerja narkotik untuk meningkatkan istirahat dan menurunkan spasme otot/duktus, sehingga menurunkan kebutuhan metabolic, sekresi enzim.
f. Antasida contoh Mylanta, Maalox, ampohongel, riopan:
Rasional ; menetralisir asam gaster untuk merunkan produksi enzim pancreas dan menurunkan insiden pendrahan GI atas.

2. Dx : Kekurangan Volume Cairan , Risiko Tinggi Terhadap berhubungan dengan kehilangan berlebihan; muntah, penghisapan gaster.
Kriteria Hasil : Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tabda vital stabil, turgor kulit baik, pengisian kapiler cepat , nadi perifer kuat,dan secara individu mengeluarkan jumlah urine adekuat.
Intervensi dan Rasional
a. Mengawasi TD dan ukur CVP bila ada.
Rasional : Perpindahan cairan pendarahan dan menghilangkan vasodilator dan factor depresi jantung yang dipicu oleh iskemia pancreas dapat menyebabkan hipertensi berat.
b. Mengukur masukan dan haluaran termaksud muntah, aspirasi gaster, diare. Menghitung keseimbangan cairan 24 jam.
Rasional : Indikator kebutuhan penggantian / keefektifan terapi.
c. Menimbang berat badan ini sesuai indikasi. Hubungankan dengan
perhitungan keseimbangan cairan.
Rasional : Penurunan berat badan menunjukan hipovolemia; namun edema, retensi cairan dan asites mungkin ditunjukan oleh peningkatan atau berat badan stabil, meskipun pada adanya kehilangan otot.
d. Berikan penggantian cairan sesuai indikasi, contoh cairan garam faal, albumin, produk darah, dekstram.
Rasional : pilih cairan pengganti kurang pentingpada kecepatan dan keadekuat perbaikan volume. Cairan gambar faal dan albumin dapat digunakan untuk mengikatkan mobilisasi cairan kembali kedalam area vaskuler. Dekstran dengan berat molekul rendah kadang-kadang digunakan untuk menurunkan risiko disfungsi ginjal dan edema paru sehubung dengan pankreatitis.
e. Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh Hb/Ht, protein, albumin, elektrolit, BUN, kreatinin, osmolalitas urine dan natrium/ kalium, pemeriksaan kongulasi.
Rasional: menidentifikasi deficit/ kebutuhan pengganti dan terjadinya komplikasi, contoh ; ATN, KID.

3. Dx : Nutrisi, perubahan : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan muntah, penurunan pemasukan oral, pembatasan diet
Kriteria hasil :Menunjukan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan bilai laboratorium normal, takmenandai tanda nutrisi, dan menunjukan perilaku perubahan pola hidup untuk meningkatkan atau memperthankan berat badab normal.
Intervensi dan Rasional
Mandiri
a. Mengkaji abdomen, catat adanya atau karakter bising usus, distensi abdomen dan keluhan mual.
Rasional : Distensi abdomen dan atoni usus sering terjadi, mengakibatkan penurunan atau tak ada bising usus. Kembalinya bising usus dan hilangnya gejala menunjukan kesiapan untuk penghentian aspirasigaster.

b. Memberikan perawatan oral
Rasional : Menurunkan rangsangan muntah dan inflamasi / iritasi membrane mukosa kering berhubungan dehidrasi dan bernapas dengan mulut bila NG dipasang.


c. Bantu pasien dalam pemilihan makanan atau cairan yang memenuhi kebutuhan nutrisi dan pembatasan bila diet dimulai.
Rasional : Kebiasaan diet sebelumnya mungkin tidak memuaskan pada pemenuhan kebutuhan saat ini untuk regenerasi jaringan dan penyembuhan.
d. Pertahankan status puasa dan penghisapan gaster pada fase akut.
Rasional : mencegah ransangan dan pengeluaran enzim pancreas , bila kimus dan asam HCl masuk ke duodenum.
e. Awasi glukosa serum.
Rasional ; indicator kebutuhan insulin karena hiperglikemia sering terjadi, meskipun tidak selalu pada kadar cukup tinggi untuk menghasilkan ketoasidosis.
f. Berikan hiperalimentasi dan lipid, bila diindikasikan
Rasional : pemberian IV kalori, lipid dan asam amino harus diberikan sebelum penurunan nutrisi / nitrogen memburuk.

4. Dx : pembatasan diet.infeksi, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama : status cairan tubuh, gangguan peristaltic perubahan pH pada sekresi.
Kriteria hasil : Meningkatkan waktu penyembuhan, bebas tanda infeksi, tidak demam, berpartisipasi pada aktivitas untuk menurunkan resiko infeksi
Intervensi dan Rasional
a. Menggunakan teknik aseptic ketat bila mengganti balutan bedah atau bekerja dengan infuse kateter atau selang, drein. Ganti balutan dengan cepat.
Rasional ; membatasi sumber infeksi dimana dapat menimbulkan sepsis pada pasien tentang. Catatan ; penelitian menunjukan komplikasi infeksi bertanggung jawab terhadap 80% kematian sehubungan dengan pankreatitis.
b. Menekankan pentingnya mencuci tangan dengan baik.
Rasional : menurunkan resiko kontaminasi silang.
c. Mengobservasi frekuensi dan karakteristik pernapasan, bunyi napas. Catat adanya batuk dan produksi sputum.
Rasional : akumulasi cairan dan keterbatasan mobilitas mencetuskan infeksi pernapasan dan atelektasis. Akumulasi cairan asites dapat menyebabkan peningkatan diafragma dan pernapasan abdomen dangkal.
d. Menganbil specimen kultur, contoh darah, luka, urine, sputum atau aspirat pancreas.
Rasional ; mengidentifikasi adanya infeksi dan organisme penyebab.
e. Memberikan terapi antibiotic sesuai indikasi ;
Sefalosporin, contoh sefoksitin natrium (Mefoxin) ; aminoglikosida plus
contoh gentamisin (garamycin); tobramisin (Nebicin).
Rasional ; antibiotic spectrum luas secara umum diajurkan untuk sepsis. Namun terapi akan didasari pada kultur organisme khusus.

2) Siapkan intervensi bedah bila perlu
Rasional ; abses mungkin secara bedah dikeluarkan dengan reseksi jaringan netrotik. Selang dapat di masukan untuk irigasi antibiotic dan pengaliran debris pancreas. Pseudokista (ada selama beberapa minggu) mungkin dialirkan karena resiko dan insiden infeksi atau rupture.


E . Evaluasi Keperawatan
1. Melaporkan berkurangnya rasa nyeri dan gangguan rasa nyaman.
a. Mengkonsumsi obat analgesic serta antikolinergik seperti yang diresepkan dan tidak berlebihan.
b. Mempertahankan tirah baring seperti yang diresepkan.
c. Menghindari konsumsi alcohol untuk mengurangi nyeri abdomen.
2. Mengalami perbaikan fungsi respiratorius
a Sering mengubah posisi ketika berada di tempat tidur.
b. Batuk dan napas dalam paling sedikit setiap jam sekali.
c. Memperlihatkan frekuensi dan pola pernapasan normal, ekspansi paru penuh, suara pernapasan normal.
d. Suhu tubuh normal dan tidak terdapat infeksi pernapasan.
3. Mencapai keseimbangan nutrisi, cairan dan elektrolit
a. Melaporkan penurunan frekuensi diare.
b. Mengidentifikasi dan mengkonsumsi jenis-jenis makanan yang tinggi
karbohidrat tetapi rendah protein.
c. Menjelaskan rasional untuk menghindari asupan alcohol.
d. Mempertahankan asupan cairan yang adekuat dengan mengikuti pedoman seperti yang diresepkan.
e. Memperilihatkan haluaran urine yang adekuat.


4. Memperlihatkan kulit yang utuh
a. Kulit tidak tampak pecah atau mengalami infeksi.
b. Cairan drainase ditampung dengan baik.
5. Tidak ada komplikasi
a. Memperlihatkan turgor kulit yang normal, membrane mukosa lembab, kadar elektrolit serum yang normal.
b. Berat badan stabil dan tidak terdapat peningkatan ukuran lingkaran abdomen.
c. Memperlihatkan fungsi neurology, kardiovakuler, ginjal dan pernapasan yang normal.






















BAB III
KESIMPULAN

Pancreas memiliki dua fungsi yaitu eksokrin (pembentukan enzim-enzim pencernaan) dan fungsi endokrin ( pembentukan insulin dan glukagon ). Pankreatitis disebabkan oleh banyak factor, tetapi penyebab yang paling umum adalah penyakit batu empedu dan penyalah gunaan alcohol, dimana keduanya bertanggung jawab pada lebih dari 70% kasus. Alcohol ini dikenal sebagai pengubah konsumsi getah pankreatn dengan meningkatkan jumlah tripsinogen. Penyakit ini memiliki kemampuan unk sembuh dengan sendirian dan umum pasiendapat sembuh dengan cepat. Namun pada kasus-kasus beratgagal system organ multplr dan dapat dihubungkan dengan tingkat kematian yang bermakna.
















DAFTAR PUSTAKA

Admin. (2009). Asuhan keperawatan-pankreatitis. diambil pada 03 Mei 2011 dari http://www.catatanperawat.byethost15.com

Doenges, Marilyan E . (2000) . Rencana Asuhan Keperawatan . Edisi 3 . Jakarta : EGC

Google. (2009). Pankreatitis. diambil pada tanggal 03 Mei 2011 dari http://www.ruslanpinrang.blogspot.com/_2452.html

Harrison . (2002) . Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13 . Yogyakarta : EGC

Price, Sylvia Anderson . (2006) . Patofisiologi . Edisi 6 . Jakarta : EGC

Sjamsuhidajat , R . Jong , Wim de . (2005) . Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2 . Jakarta : EGC

Smeltzer , Suzanne C . Bare, Breda G . (2002) . Buku Ajaran Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth . Edisi 8 . Jakarta ;: EGC

Sweringen . (2001) . Keperawatan Medikal Bedah . Edisi 2 . Jakarta :EGC

KORIAMNIONITIS

A. Pendahuluan
1. Definisi
Korioamnionitis adalah infeksi jaringan membarana fetalis beserta cairan amnion yang terjadi sebelum partus sampai 24 jam post partum. Insidensi dari chorioamnionitis adalah 1 – 5% dari kehamilam term dan sekitar 25% dari partus preterm.
Korioamnionitis merupakan inflamasi pada membrane fetal / selaput ketuban yang merupakan manifestasi dari infeksi intrauterine (IIU). Seringkali berhubungan dengan pecahnya selabut ketuban yang lama dan persalinan yang lama. Hal ini dapat dilihat dengan menjadi keruhnya ( seperti awan) selaput membrane. Selain itu bau busuk dapat tercium, tergantung jenis dan konsentrasi bakteri. Ketika mono dan leukosit polimononuklear (PMN) menginfiltrasi korion, dalam penemuan mikroskopik maka hal ini dikatakan korioamnionitis. Sel-sel tersbut berasal dari ibu. Sebaliknya, jika leukosit ditemukan pada cairan amnion ( amnionitis ) atau selaput plasenta ( funisitis ), sel-sel ini berasal dari fetus. (Goldenberg and co-workers, 2000)

2. Epidemologi
Dengan adanya korioamnionitis, morbiditas fetus meningkat secara substansif. Alexander dan kolega (1998) mempelajari 1367 neonatus dengan berat lahir sangat rendah yang dilahirkan di Rumah Sakit Parkland. Sejumlah 7 % dilahirkan oleh wanita dengan korioamnionitis, dan hasil akhir dibandingkan dengan bayi baru lahir tanpa infeksi secara klinis. Para bayi yang baru lahir dengan grup terinfeksi mempunyai insidensi yang lebih tinggi menderita sepsis, respiratory distress syndrome, kejang dengan onset awal, perdaraham intraventrikular, dan leukomalasia periventrikular. Para peneliti mengkonklusi bahwa bayi-bayi dengan berat badan sangat rendah tersebut rentan terhadap perlukaan neurologis karena korioamnionitis. Pada penelitian lain ( Yoon dan kolega, 2000) menemukan bahwa infeksi intra amnion pada bayi preterm berhubungan dengan meningkatnya resiko cerebral palsy pada usia 3 tahun. Petroya dan kolega (2001) mempelajari lebih dari 11 juta kelahiran hidup dari 1995 hingga 1997 yang terdaftar pada National Center for Health Statistics linked birth-infant death cohort. Selama persalinan, 1,6 % wanita yang mengalami demam berhubungan secara erat denga infeksi yang menyebabkan kematian baik bayi term maupu preterm. Bullard dan rekan sejawat (2002) melaporkan hasil yang sama

B. Patofisiologi
Jalur bakteri memasuki cairan amnion yang intak masih belum jelas diketahui. Gyr dan kolega (1994) telah menunjukkan bahwa Escherichia coli dapat mempenetrasi membrane tang hidup; sehingga, membran bukan barier yang absolut untuk infeksi ascending. Jalur lain inisiasi bakteri pada persalinan preterm mungkin tidak membutuhkan cairan amnion. Cox dan rekan kerja (1993) menemukan bahwa sitokin dan sel-sel mediasi imunitas dapat teraktivasi di dalam jaringan desidual yang membatasi membrane fetalis. Pada peristiwa ini, produk bakteri seperti endotoksin menstimulasi monosit desidual untuk memproduksi sitokin, yang kemudian menstimulasi asam arakidonat dan produksi prostaglandin. Prostaglandin E2 dan F2 bekerja pada parakrin untuk menstimulasi miometrium sehingga berkontraksi

C. Etiologi
Infeksi pada membran dan cairan amnion dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang bervariasi. Bakteri dapat ditemukan melalui amniosintersis transabdominal sebanyak 20% pada wanita dengan persalinan preterm tanpa manifestasi klinis infeksi dan dengan membrane fetalis yang intak (Cox dan rekan kerja, 1996; Watts dan kolega, 1992). Produk viral juga ditemukan (Reddy and colleagues, 2001). Infeksi tidak terbatas pada cairan amnion. Pada penelitian yang dilakukan pada 609 wanita dengan sectio caesarea dengan membrane yang intak, Hauth dan rekan kerja (1998) mengkonfirmasi bahwa organism dari korioamnion meningkat secara signifikan dalam persalinan spontan preterm. Proses penyembuhan dari bakter patogen juga berhubungan secara terbalik dengan usia kehamilan.

D. Gambaran Klinis
Ruptur membrane yang memanjang berhubungan dengan morbiditas infeksi yang meningkat (Ho dan kolega, 2003). Jika korioamnionitis terdiagnosis, usaha untuk mempengaruhi persalinan, pervaginam yang disarankan, segera dimulai. Tanda dan gejala yang dapat ditemukan :
• Demam, suhu di atas 38°C (100.4°F) atau lebih tinggi disertai ruptur membrane menandakan adanya infeksi.
• Leukositosis pada ibu tersendiri ridak ditemukan berhubungan secara signifikan oleh para peneliti.
• takikardia ibu dan takikardia fetus
• uterine tenderness
• vaginal discharge yang berbau.


E. Diagnosis
1. Amnesis
Para peneliti menemukan bahwa reaksi inflamasi dapat bersifat tidak spesifik dan tidak selalu terbukti terjadi infeksi pada ibu. Sebagai contoh, Yamada dan kolega ( 2000 ) menemukan bahwa cairan yang terwarna mekonium merupaka penarik kimiawi bagi leukosit. Sebaliknya, Benirschke dan Kaufmann (2000) mempercayai bahwa korioamnionitis secara mikroskopik selalu disebabkan infeksi. Korioamnionitis sering berhubungan dengan rupture membran, kelahiran preterm, ataupun keduanya. Seing kali sulit dibedakan apakah infeksi terlebih dahulu atau ruptur membran terlebih dahulu yang terjadi. Gambaran khasnya adalah selaput ketuban yang terlihat seperti susu dan berkabut (akibat adanya lekosit polimorfonuklear dan eksudat) disertai infiltrasi leukosit perivaskular pada tali pusat clan pembuluh darah janin (omfalitis). Peradangan vilus fokal merupakan manifestasi lanjut.
2. Pemeriksaan Fisis




3. Pemeriksaan Penunjang
• pemeriksaan hapusan Gram atau kultur pada cairan amnion biasanya
tidak dilakukan.
• Pemeriksaan amniosentesis biasanya dilakukan pada preterm labour yang
refrakter (supaya dpt diputuskan apabila tokolisis tetap dilanjutkan atau
tidak) dan pada pasien yang PROM (apakah induksi perlu dilakuka).
• Indikasi lain dari amniosentesis adalah untuk mencari diagnosis
diferensial dari Infeksi intramnion, prenatal genetic studies,
memprediksi lung maturity

F. Penatalaksanaan
1. Medis
• Ampisilin 3 x 1000mg
• Gentamisin 5mg/kg BB/hari
• Metronidazol 3 x 500mg
• Lakukan kerjasama dengan dokter anak untuk penanggulanggan janin/neonatus
• Perhatikan kontraksi uterus pasca persalinan untuk menghambat invasi mikroorganisme melalui sinus-sinus pembuluh darah yang terdapat pada dinding uterus.
• Untuk antibiotik empiris biasanya diberikan Ampicillin 2g IV setiap 6 jam dengan Gentamycin 1,5mg/kgBB.
• Pemberian antibiotik untuk kuman anaerob seperti Metronidazole 500mg IV tiap 8 jam atau Clindamycin 900mg IV tiap 8 jam dapat diberikan apabila pasien direncanankan untuk operasi sectio cesar.
• Untuk pasien dengan alergi terhadap penisilin dapat diberikan vancomycin
• Pemberian antibiotik ini biasanya diberikan sampai pasien tidak demam dan asimptomatik selama 24 – 48 jam post partum
2. Asuhan Keperawatan
• Observasi dan nilai kemajuan proses persalinan
• Lakukan terminasi persalinan dengan memperhatikan etiologi demam
• Bila terjadi korioamnionitis, lihat penatalaksanaan komplikasi tersebut
• Evaluasi kondisi janin selama proses persalinan dan lakukan tindakan pertolongan atau resusitasi pada bayi baru lahir apabila terjadi asfiksia
• Demam selama persalinan, mungkin akan berlanjut hingga masa nifas, oleh karena itu pemantauan dan terapi untuk kasus ini harus dilanjutkan hingga penyulit tersebut dapat benar-benar diatasi.
• Buat diagnosis sedini mungkin
• Induksi atau akselerasi persalinan pada kehamilan >35 minggu
• Upayakan persalinan berlangsung pervaginam
• Atasi semua komplikasi pada ibu dan janin/neonates

G. Prognosis
 Parametritis,
 salpingitis,
 peritonitis pelvis,
 tromboflebitis pelvis, atau kematian ibu dapat terjadi, demikian juga omfalitis,
 septikemia,
 pneumonia septik, atau kematian bayi pada masa perinatal.
 Periventrikular leukomalasia
 Cerebral palsy





Daftar Pustaka
1. Duff P. Maternal and perinatal infection. In: Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL, eds. Obstetrics: normal and problem pregnancies, 4th ed. Philadelphia, PA: Churchill Livingston; 2002:1301-3
2. bidangesot.infeksi dalam persalinan. Online. 2011 Available from URL: http://infeksidalampersalinan.Bidangesot’Blog.htm
3. Yanis.koriamnionitis. Online 2011 Available from URL :
http://www.google.com/charioamnionitis-doc.htm
4. http://www.google.com/

RHINITIS

A. Pendahuluan
1. Definisi
Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di hidung. (Dipiro, 2005 )
Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung. ( Dorland, 2002 )
Rhinitis adalah istilah untuk peradangan mukosa. Menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi dua:
a. Rhinitis akut (coryza, commond cold) merupakan peradangan membran mukosa hidung dan sinus-sinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus dan bakteri. Penyakit ini dapat mengenai hampir setiap orang pada suatu waktu dan sering kali terjadi pada musim dingin dengan insidensi tertinggi pada awal musim hujan dan musim semi.
b. Rhinitis kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa yang disebabkan oleh infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena rinitis vasomotor.


2. Epidemologi
• Rhinitis alergi merupakan penyakit umum dan sering dijumpai. Prevalensi penyakit rhinitis alergi pada beberapa Negara berkisar antara 4.5-38.3% dari jumlah penduduk dan di Amerika, merupakan 1 diantara deretan atas penyakit umum yang sering dijumpai. Meskipun dapat timbul pada semua usia, tetapi 2/3 penderita umumnya mulai menderita pada saat berusia 30 tahun. Dapat terjadi pada wanita dan pria dengan kemungkinan yang sama. Penyakit ini herediter dengan predisposisi genetic kuat. Bila salah satu dari orang tua menderita alergi, akan memberi kemungkinan sebesar 30% terhadap keturunannya dan bila kedua orang tua menderita akan diperkirakan mengenai sekitar 50% keturunannya (PERSI,2007).
• Perkiraan yang tepat tentang prevalensi rhinitis alergi agak sulit berkisar 4 – 40%
• Ada kecenderungan peningkatan prevalensi rhinitis alergi di AS dan di seluruh dunia
• Penyebab belum bisa dipastikan, tetapi nampaknya ada kaitan dengan meningkatnya polusi udara, Populasi dust mite, kurangnya ventilasi di rumah atau kantor, dll.



B. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu :
1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Munculnya segera dalam 5-30 menit, setelah terpapar dengan alergen spesifik dan gejalanya terdiri dari bersin-bersin, rinore karena hambatan hidung dan atau bronkospasme. Hal ini berhubungan dengan pelepasan amin vasoaktif seperti histamin.
2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Muncul dalam 2-8 jam setelah terpapar alergen tanpa pemaparan tambahan. Hal ini berhubungan dengan infiltrasi sel-sel peradangan, eosinofil, neutrofil, basofil, monosit dan CD4 + sel T pada tempat deposisi antigen yang menyebabkan pembengkakan, kongesti dan sekret kental.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai APC akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Kompleks antigen yang telah diproses dipresentasikan pada sel T helper (Th0). APC melepaskan sitokin seperti IL1 yang akan mengaktifkan Th0 ubtuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan IL13. IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk terutama histamin.

Rinitis Alergi melibatkan membran mukosa hidung, mata, tuba eustachii, telinga tengah, sinus dan faring. Hidung selalu terlibat, dan organ-organ lain dipengaruhi secara individual. Peradangan dari mukosa membran ditandai dengan interaksi kompleks mediator inflamasi namun pada akhirnya dicetuskan oleh IgE yang diperantarai oleh respon protein ekstrinsik.
Kecenderungan munculnya alergi, atau diperantarai IgE, reaksi-reaksi pada alergen ekstrinsik (protein yang mampu menimbulkan reaksi alergi) memiliki komponen genetik. Pada individu yang rentan, terpapar pada protein asing tertentu mengarah pada sensitisasi alergi, yang ditandai dengan pembentukan IgE spesifik untuk melawan protein-protein tersebut. IgE khusus ini menyelubungi permukaan sel mast, yang muncul pada mukosa hidung. Ketika protein spesifik (misal biji serbuksari khusus) terhirup ke dalam hidung, protein dapat berikatan dengan IgE pada sel mast, yang menyebabkan pelepasan segera dan lambat dari sejumlah mediator. Mediator-mediator yang dilepaskan segera termasuk histamin, triptase, kimase, kinin dan heparin. Sel mast dengan cepat mensitesis mediator-mediator lain, termasuk leukotrien dan prostaglandin D2. Mediator-mediator ini, melalui interaksi beragam, pada akhirnya menimbulkan gejala rinore (termasuk hidung tersumbat, bersin-bersin, gatal, kemerahan, menangis, pembengkakan, tekanan telinga dan post nasal drip). Kelenjar mukosa dirangsang, menyebabkan peningkatan sekresi. Permeabilitas vaskuler meningkat, menimbulkan eksudasi plasma. Terjadi vasodilatasi yang menyebabkan kongesti dan tekanan. Persarafan sensoris terangsang yang menyebabkan bersin dan gatal. Semua hal tersebut dapat muncul dalam hitungan menit; karenanya reaksi ini dikenal dengan fase reaksi awal atau segera.
Setelah 4-8 jam, mediator-mediator ini, melalui kompetisi interaksi kompleks, menyebabkan pengambilan sel-sel peradangan lain ke mukosa, seperti neutrofil, eosinofil, limfosit dan makrofag. Hasil pada peradangan lanjut, disebut respon fase lambat. Gejala-gejala pada respon fase lambat mirip dengan gejala pada respon fase awal, namun bersin dan gatal berkurang, rasa tersumbat bertambah dan produksi mukus mulai muncul. Respon fase lambat ini dapat bertahan selama beberapa jam sampai beberapa hari.
Sebagai ringkasan, pada rinitis alergi, antigen merangsang epitel respirasi hidung yang sensitif, dan merangsang produksi antibodi yaitu IgE. Sintesis IgE terjadi dalam jaringan limfoid dan dihasilkan oleh sel plasma. Interaksi antibodi IgE dan antigen ini terjadi pada sel mast dan menyebabkan pelepasan mediator farmakologi yang menimbulkan dilatasi vaskular, sekresi kelenjar dan kontraksi otot polos.
Efek sistemik, termasuk lelah, mengantuk, dan lesu, dapat muncul dari respon peradangan. Gejala-gejala ini sering menambah perburukan kualitas hidup.
Berdasarkan cara masuknya, allergen dibagi atas
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel, bulu binatang.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan misalnya susu, telur, coklat, ikan, udang.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa.
Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
C. Etiologi
1. Alergen
Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala rinitis alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan alergen hirupan utama penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia,
sedang pada bayi dan balita, makanan masih merupakan penyebab yang
penting.

2. Polutan
Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis. Polusi dalam ruangan terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar termasuk gas buang disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida. Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir ini telah diketahui lebih jelas.
3. Aspirin
Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis
alergika pada penderita tertentu.


D.Gambaran Klinis
1. Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari
(umumnya bersin lebih dari 6 kali).
2. Hidung tersumbat.
3. Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan alergi biasanya bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus.
4. Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan tenggorok.
Badan menjadi lemah dan tak bersemangat.

E. Diagnosis
1. Amnesis
Gejala khas yang bisa didapatkan adalah sebagai berikut :
serangan timbul bila terjadi kontak dengan alergen penyebab
didahului rasa gatal di hidung, mata, atau kadang pada pallatum molle
bersin-bersin paroksismal (dominan) : > 5kali/serangan, diikuti produksi sekret yg encer danhidung buntu gangguan pembauan, mata sembab dan berair, kadang disertai sakit kepala tidak didapatkan tanda infeksi (mis : demam) mungkin didapatkan riwayat alergi pada keluarga
2. Pemeriksaan Fisis
konka edema dan pucat, secret seromucinou
3. Pemeriksaan Penunjang
• Tes kulit “prick test”
• Eosinofil sekret hidung. Positif bila ≥25%
• Eosinofil darah. Positif bila ≥400/mm3
bila diperlukan dapat diperiksa
• IgE total serum (RIST & PRIST). Positif bila > 200 IU
• IgE spesifik (RAST)
• X-foto Water, bila dicurigai adanya komplikasi sinusitis




F.Pelaksanaan
1. Medis
• Simtomatik :
Intermiten ringan : anti histamin (2minggu) dan dekongestan (pseudoefedrin 2x30mg)
• Anti histamin pada saat serangan dapat dipakai CTM 3 x 2-4mg. Untuk yang non sedatif
dapat dipakai loratadin, setirizin (1 x 10 mg) atau fleksonadine (2x60mg). Desloratadine
adalah turunan baru loratadine yang punya efek dekongestan. Anti histamin baru non sedatif cukup aman untuk pemakaian jangka panjang.
• Intermiten sedang berat, persisten ringan : steroid topikal, cromolyn (mast cell stabilisator),
B2 adrenergik (terbutaline). Kortikosteroid (deksametasone, betametasone) untuk serangan
akut yang berat, ingat kontra indikasi. Dihentikan dengan tappering off
• Dekongestan lokal : tetes hidung, larutan efedrine 1%, atau oksimetazolin 0.025% -
0.05%, bila diperlukan, dan tidak boleh lebih dari seminggu. Dipakai kalau sangat perlu
agar tidak menjadi rhinitis medikamentosa
• Dekongestan oral : pseudoefedrine 2-3 x 30-60mg sehari. Dapat dikombinasi dengan
antihistamin (triprolidin + pseudoefedrine, setirizin + pseudoefedrine, loratadine +
pseudoefedrine)
• R.A persisten sedang berat : bisa digunakan steroid semprot hidung
• Pembedahan : apabila ada kelainan anatomi (deviasi septum nasi), polip hidung, atau komplikasi lain yang memerlukan tindakan bedah

2. Asuhan Keperawatan
• Mendorong individu untuk bertanya mengenai masalah, penanganan, perkembangan dan prognosis kesehatan
• Mengatur kelembapan ruangan untuk mencegah pertumbuhan jamur
• Menjauhkan hewan berbulu dari pasien alergi, namun hal ini sering tidak dipatuhi terutama oleh pecinta binatang
• Membersihkan kasur secara rutin.

G. Prognosis
1. Sinusitis kronis (tersering)
2. Poliposis nasal
3. Sinusitis dengan trias asma (asma, sinusitis dengan poliposis nasal dan
sensitive terhadap aspirin)
4. Asma
5. Obstruksi tuba Eustachian dan efusi telingah bagian tengah
6. Hipertropi tonsil dan adenoid
7. Gangguan kognitif



Daftar Pustaka
1. Dorland, WA. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC
2. Smeltzer, suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
3. Peralmuni. Terapi Imun Alergen Spesifik Pada Rinitis Alergi: Kajian
4. Mekanisme Biomolekuler, Indikasi, Efektivitas. Online. 2011. Available from URL: http://www.peralmuni.medindo.com/
5. Mohammad. Rhinitis alergika. Online. 2011 Available from URL: http:// www.nn-no.facebook.com/topic.php?uid=100064742713&topic=9732
6. www.google.com